Makna Dan Jenis Blangkon Dalam Kehidupan Masyarakt Jawa
Blangkon merujuk pada kata Blanko, yang dipakai untuk merujuk pada sesuatu yang siap pakai.
Bagi orang Jawa, makna Blangkon bukan hanya sebagai tutup kepala, Blangkon mempunyai makna, dan sekaligus menunjukkan status seseorang.
Dikutip BondowosoNetwork.com dari kanal youtube Dewi Sundari Praktisi Kejawen, berikut ini jenis-jenis Blangkon.
Blangkon adalah penutup atau ikat kepala bagi kaum pria. Umumnya blangkon terbuat dari jalinan kain polos atau bermotif (batik) yang dilipat, dililit kemudian dijahit hingga berbentuk penutup kepala siap pakai.
Penggunaan blangkon ini bertujuan sebagai bagian dalam tradisi busana adat jawa, pelindung kepala dari sengatan matahari, sebagai wujud keindahan bagi pemakainya serta menunjukkan martabat atau kedudukan sosial bagi pemiliknya.
Blangkon merupakan tudung kepala tradisional khas suku Jawa yang dikenakan oleh kaum pria. Blangkon berasal dari kata blangku yang berarti sesuai. Dulunya, cara mengenakan blangkon tidaklah sepraktis seperti sekarang ini, melainkan harus melalui proses pengikatan rumit dan berpola sesuai dengan bentuk kepala.
Sebagai simbol ikonik masyarakat Jawa, blangkon kerap kali dijumpai di beberapa seremoni Jawa seperti pernikahan adat Jawa, upacara keagamaan, hingga perhelatan besar di keraton.
Secara historis memang tidak dirincikan sejak tahun berapa kemunculan blangkon ini. Namun, blangkon sudah ada sejak zaman penyebaran agama Islam oleh para wali songo.
Menurut pakem utamanya, jenis blangkon ada dua macam yakni gaya Yogyakarta dan gaya Surakarta. Selebihnya seperti blangkon gaya Banyumas, Kedu, Ponorogo, Mojokerto, Kediri, dll modelnya masih mengikuti kedua pakem utamanya. Perbedaan yang paling menonjol antara blangkon gaya Yogyakarta dan blangkon gaya Surakarta yaitu terletak pada bagian mondholan-nya.
Bagi yang belum tahu, mondholan yaitu kepalan bulat yang berada di bagian belakang blangkon. Blangkon gaya Yogyakarta memiliki mondholan yang berbentuk bulat berisi sedangkan blangkon gaya Surakarta memiliki mondholan yang berbentuk gepeng.
Adanya perbedaan model antara blangkon Yogyakarta dan Surakarta disebabkan oleh pengaruh politik kedaerahan di masa kolonialisme. Pada saat itu, Keraton Surakarta yang lebih dekat dengan pemerintahan Belanda mengenal budaya memotong rambut, sehingga mayoritas masyarakat Surakarta berambut pendek. Hal ini tentunya berpengaruh pada bentuk blangkon yang dipakai sehari-hari.
Seiring berjalannya waktu, blangkon yang semulanya hanya sebuah tudung kepala, kemudian diyakini memiliki nilai-nilai spiritualisme Jawa yang dijunjung tinggi. Masyarakat Jawa zaman dulu menganggap blangkon sebagai aksesoris sakral yang dibuat berdasarkan ajaran-ajaran luhur budaya Jawa.
Sehingga orang Jawa tempo dulu percaya bahwa memakai blangkon akan menambah kewibawaan penggunanya. Dari kedua jenis pakem utama blangkon, terdapat tiga nilai-nilai spiritualisme yang dapat kita pelajari.
Pertama, blangkon gaya Yogyakarta mengajarkan penggunanya agar senantiasa mengingat Tuhan Yang Mahakuasa. Mondholan bulat pada bagian belakang blangkon mencegah penggunanya dari lelapnya tidur untuk tetap beramal kebajikan. Selain itu, terdapat dua kuncir atau helai kain yang merumbai di samping kanan dan kiri mondholan.
Dua kuncir tersebut sebagai representasi dari dua kalimat tauhid. Artinya setiap pemikiran yang keluar dari benak kita haruslah berlandaskan dua kalimat tauhid agar saat kita melangkah selalu direstui oleh Yang Mahakuasa. Kemudian, wiron atau lipatan kain yang mengelilingi blangkon berjumlah 17, menandakan 17 rakaat ibadah yang wajib dilaksanakan oleh kaum muslim.
Kedua, blangkon gaya Surakarta mengajarkan penggunanya agar tetap menjaga tiga hubungan utama di dalam kehidupan. Ketiga hubungan tersebut antara lain habblumminallah (hubungan dengan Tuhan), habblumminal alam (hubungan dengan alam), dan habblumminannas (hubungan dengan sesama manusia) yang disimbolisasikan oleh jebeh atau dua helai kain di samping kiri dan kanan mondholan yang berbentuk segitiga kokoh.
Selain itu, mondholan gepeng yang berbentuk lurus memiliki arti bahwa penggunannya harus tetap berpikir lurus tanpa adanya prasangka buruk dalam menjalin hubungan dengan sesama.
Hal ini menandakan bahwa hubungan antara Tuhan-alam-manusia harus didasarkan oleh tegaknya keyakinan. Batik yang sering digunakan pada blangkon gaya Surakarta yaitu motif sogan yang berwarna dominan kecoklatan, simbol dari kerendahan hati, sikap acuh terhadap sesama, dan kedekatan terhadap Sang Pencipta.
Komentar
Posting Komentar